Rabu, 12 Agustus 2015

Saturday 08.08.2015

Ayahku tidak mengenal cara mengajariku naik sepeda, tidak juga mengerti bagaimana cara mendongeng untukku ketika waktu tidur sudah tiba.

Ayahku tidak mengenal cara menertawakan aku ketika wajahku serupa kucing di pentasku yang pertama, tidak juga mengenal bagaimana cara mendengarkan keluhan ketika aku putus cinta.

Ayahku tidak kenal memelukku ketika aku menangis, tidak juga tahu bahwa aku pernah punya mimpi untuk berdansa bersamanya.


Ayahku tidak kenal aku, tidak juga tahu bahwa mencintainya seperti aku mencintai luka di dadaku. Aku tidak pernah mampu melarik sajak untuk ayah.

Ibuku baik sekali, Ia wanita berkulit sawo matang dengan senyuman dari pipi hingga mata. Ia senang sekali memasak, menyanyi dan berkerja. Ia mahir berbahasa; entah Jawa, Sunda, Melayu bahasa kalbu saja ia bisa.

Ibuku baik sekali, Ia wanita berambut paling indah yang pernah aku temui. Aku sering kali iri dengan selendang yang disampirkan Tuhan di atas kepalanya. Dengan sangat terhormat menjadi mahkota disana.

Ibuku baik sekali, Ia wanita dengan jemari tidak lentik yang mampu meracik bumbu-bumbu jadi cantik. Ia akan memasak untumu dan kamu akan jatuh cinta disuapan pertama. Masakan Ibuku mampu menjadi tempatmu untuk jatuh cinta, patah hati, lalu jatuh cinta lagi. Coba saja lain kali.

Ibuku baik sekali, Ia wanita berlengan besar dengan pelukan lebar, ia mengulurkan lengannya yang sudah digelayuti banyak sekali luka yang hidup torehkan di sana. Lengannya tetap tempat berteduh segala nyeri.

Ibuku baik sekali, Ia wanita dengan dada lebih luas dari samudera. Senja berkali-kali mati di sana. Ia senja yang kadang kedatangannya aku nanti meski kini lebih sering aku lewatkan. Tempat doa bermuara, berlayar ke tepinya. Entah akan dikabul Tuhan atau tidak.

Ibuku baik sekali, Ia wanita dengan mata paling tajam dari belati yang diasah para pandai besi dijaman kerajaan masih menganut ilmu-ilmu bumi. Sekaligus telaga paling tenang untukmu berenang meski kadang jadi lautan duka yang tak sanggup kau tatap lama-lama. Kau akan segera hanyut dengan lara.

Ibuku baik sekali, Ia wanita dengan kaki bergerak ke sana ke mari, tidak kenal berhenti. Ia yang mengajariku bekerja dengan caranya sendiri. Meski tumitku tak sanggup lagi berdiri, Ia tidak mengajarkanku untuk berhenti.

Ibuku baik sekali, Ia wanita dengan hujan berkepanjangan didalam kepalanya. Ia tidak kenal kemarau, membuatmu selalu butuh payung ketika bertandang ke sana. Namun sekali kau menginjak beranda keningnya, kau rela kebasahan dibawah siraman hujan sederas apapun, badai sekalipun.
.
Ibuku baik sekali, Ia wanita yang sadar bahwa aku menyebalkan, dan ia masih mencintaiku. Dengan cara yang tidak pernah aku tahu.