Ayahku tidak mengenal cara
mengajariku naik sepeda, tidak juga mengerti bagaimana cara mendongeng untukku
ketika waktu tidur sudah tiba.
Ayahku tidak mengenal cara
menertawakan aku ketika wajahku serupa kucing di pentasku yang pertama, tidak
juga mengenal bagaimana cara mendengarkan keluhan ketika aku putus cinta.
Ayahku tidak kenal memelukku
ketika aku menangis, tidak juga tahu bahwa aku pernah punya mimpi untuk
berdansa bersamanya.
Ayahku tidak kenal aku,
tidak juga tahu bahwa mencintainya seperti aku mencintai luka di dadaku.
Aku tidak pernah mampu melarik sajak untuk ayah.
Ibuku baik sekali, Ia wanita berkulit
sawo matang dengan senyuman dari pipi hingga mata. Ia senang sekali memasak,
menyanyi dan berkerja. Ia mahir berbahasa; entah Jawa, Sunda, Melayu bahasa
kalbu saja ia bisa.
Ibuku baik sekali, Ia wanita berambut
paling indah yang pernah aku temui. Aku sering kali iri dengan selendang yang
disampirkan Tuhan di atas kepalanya. Dengan sangat terhormat menjadi mahkota disana.
Ibuku baik sekali, Ia wanita dengan
jemari tidak lentik yang mampu meracik bumbu-bumbu jadi cantik. Ia akan memasak
untumu dan kamu akan jatuh cinta disuapan pertama. Masakan Ibuku mampu menjadi
tempatmu untuk jatuh cinta, patah hati, lalu jatuh cinta lagi. Coba saja lain
kali.
Ibuku baik sekali, Ia wanita berlengan
besar dengan pelukan lebar, ia mengulurkan lengannya yang sudah digelayuti
banyak sekali luka yang hidup torehkan di sana. Lengannya tetap tempat berteduh
segala nyeri.
Ibuku baik sekali, Ia wanita dengan dada
lebih luas dari samudera. Senja berkali-kali mati di sana. Ia senja yang kadang
kedatangannya aku nanti meski kini lebih sering aku lewatkan. Tempat doa
bermuara, berlayar ke tepinya. Entah akan dikabul Tuhan atau tidak.
Ibuku baik sekali, Ia wanita dengan mata
paling tajam dari belati yang diasah para pandai besi dijaman kerajaan masih
menganut ilmu-ilmu bumi. Sekaligus telaga paling tenang untukmu berenang meski
kadang jadi lautan duka yang tak sanggup kau tatap lama-lama. Kau akan segera
hanyut dengan lara.
Ibuku baik sekali, Ia wanita dengan kaki
bergerak ke sana ke mari, tidak kenal berhenti. Ia yang mengajariku bekerja
dengan caranya sendiri. Meski tumitku tak sanggup lagi berdiri, Ia tidak
mengajarkanku untuk berhenti.
Ibuku baik sekali, Ia wanita dengan
hujan berkepanjangan didalam kepalanya. Ia tidak kenal kemarau, membuatmu
selalu butuh payung ketika bertandang ke sana. Namun sekali kau menginjak
beranda keningnya, kau rela kebasahan dibawah siraman hujan sederas apapun,
badai sekalipun.
.
Ibuku baik sekali, Ia
wanita yang sadar bahwa aku menyebalkan, dan ia masih mencintaiku. Dengan cara
yang tidak pernah aku tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar